Hampir satu bulan setelah, seperti biasa, Inggris gagal juara. Di satu bulan ini, Spanyol berhasil mendapatkan emas di sepakbola Olimpiade. Gareth Southgate mengundurkan diri. Premier League dan liga-liga besar di Eropa beberapa hari lagi dimulai. Kekalahan Inggris sudah terlupakan dan sama sekali akan hilang dalam obrolan ketika liga-liga sudah dimulai. Mungkin sesekali akan muncul untuk mocking timnas Inggris, apalagi kalau pemain-pemain yang main jelek di Euro bermain bagus di klubnya.
Saya menulis artikel ini persis di malam setelah Inggris kalah dari Spanyol di final. Namun, kombinasi kelelahan (menonton final di lapangan dan hampir berdiri tiga jam sambil menyaksikan orang-orang Inggris kecewa, ternyata melelahkan) dan juga berbagai kesibukan lain yang membuat draft tulisan ini terlupakan. Tapi barangkali juga karena kegagalan Inggris memenangkan turnamen besar adalah salah satu hal yang mudah diprediksi semua fans sepakbola di setiap Piala Dunia sejak 1966 dan apalagi Piala Eropa. Negara ini tidak pernah juara Piala Eropa, tapi selalu saja lagu kebangsaan setiap turnamen adalah It’s Coming Home. Bagaimana coming home kalau memang sejak awal rumahnya bukan di situ?
Kegagalan-kegagalan Inggris memang beragam bentuknya dan kerap meninggalkan momen-momen ikonik. Dari kekalahan yang bisa diduga, ajaib, sampai yang dramatis dan bikin sesak (buat fans Inggris tentu). Misalnya saja kekalahan dari Argentina karena gol ajaib sekaligus gol tangan Tuhan Diego Maradona di Piala Dunia 1986. Kekalahan karena kegagalan penalti lewan Jerman di Euro 1996 yang menghantui Gareth Southgate.
Tendangan kecil David Beckham ke Diego Simeone yang berujung kartu merah di Piala Dunia 1998. Kartu merah Rooney di Piala Dunia 2006 dan provokasi Cristiano Ronaldo. Kekalahan adu penalti dari Italia di final Euro 2020 di kandang sendiri yang bikin pemain-pemain kulit hitam seperti Saka, Rashford, dan Sancho jadi korban serangan rasis fans Inggris sendiri. Dan yang terakhir tentu kekalahan dari Spanyol dengan anak 17 tahun Lamine Yamal yang memang lebih layak juara.
Tapi saya tidak terlalu berminat menulis lebih jauh tentang kekalahan Inggris. Apalagi di Euro kali ini. Kekalahan seperti hanya menunggu waktu jika melihat berkali-kali mereka main jelek dan selalu selamat di akhir-akhir pertandingan. Saya lebih tertarik menceritakan pengalaman selama menonton Euro 2024 di Sheffield. Pengalaman yang kurang lebih serupa, meski banyak perbedaan, dengan ketika saya mengalami Piala Dunia 2018 di Leeds. Bagi banyak fans bola, dua turnamen besar ini termasuk penanda linimasa perjalanan hidup. Usai Argentian juara Piala Dunia 2020 lalu, saya menulis:
Empat tahun sekali tentu cukup untuk mengukur kita pernah di mana, sedang di titik apa, dan akan menuju ke mana. Berharap-harap cemas menunggu negara favorit bisa jadi juara sambil mengingat-ingat apa yang terjadi di turnamen-turnamen sebelumnya. Dan kenangan-kenangan selalu datang kembali.
Satu bulan penuh pertandingan, kerja sehari-hari terdistraksi. Semua selesai ketika peluit terakhir final dibunyikan dan kapten tim pemenang mengangkat piala. Final yang ditunggu tapi sekaligus tidak disukai karena setelah itu adalah kehampaan. Setelah itu, hidup mesti terus berjalan. Entah empat tahun ke depan hidup akan membawa kita ke mana.
Kali ini, Euro 2024 menandai tahun pertama kehidupan PhD saya. Saya sebenarnya tidak membayangkan akan meluangkan waktu untuk nonton bareng. Pertimbangan utamanya, saya malas mandi bir – yang hampir pasti terjadi ketika Inggris main – dan sudah terlalu lelah untuk ada di kerumunan suporter Inggris. Jadi saya sengaja berlangganan aplikasi ITV dan BBC yang menayangkan semua pertandingan.
Namun, ketika scrolling di Instagram, saya menemukan postingan Fanzone UK. Mereka akan memasang layar besar dan mengadakan nonton bareng di Devonshire Green, taman yang hanya berjarak kurang dari lima menit jalan kaki dari flat saya. Selama sebulan penuh, Devonshire Green ditutup dan dikelilingi dengan pagar besi temporer dan kain hitam.
Fanzone ini berbayar, tapi khusus hanya untuk pertandingan-pertandingan Inggris. Untuk pertandingan-pertandingan lainnya, gratis. Meskipun tentu saja tidak terlalu ramai penontonnya. Untuk pertandingan Inggris, harga tiketnya bervariasi, dari 10 sampai 150an pounds khusus untuk pesan kursi dan meja di bagian depan layar. Dengan harga 10 pounds, kita bisa mendapatkan segelas bir yang tentu tidak pernah saya ambil. Bandingkan dengan ketika saya di fanzone di Leeds yang menandai fase kuliah S2 saya. Di Leeds nonton bareng diadakan secara gratis di tempat-tempat publik, yang penting cepet-cepet datang. First come, first serve.Saya beberapa kali nonton di Civic Hall Leeds. Karena tanpa tiket, mereka yang datang telat tentu tidak akan bisa masuk.
Meski berbayar, atau justru karena berbayar, pengalaman saya menonton di Sheffield sama sekali berbeda dengan ketika di Leeds. Di Sheffield, lebih banyak penonton kasual. Artinya, penonton yang memang mendukung Inggris tapi bukan pendukung fanatik. Misalnya keluarga yang membawa anak-anaknya. Nuanas piknik lebih terasa. 2018 di Leeds, meskipun banyak juga keluarga yang membawa anak-anak, jauh lebih banyak penonton fanatik dan suporter Leeds United. Sepanjang pertandingan mereka akan menyanyikan chant mendukung Inggris, Leeds United, atau chant-chant yang menunjukkan kebencian ke Manchester United musuh tradisional mereka. Dan di setiap pertandingan Inggris, mereka selalu dikawal oleh polisi berkuda.
Di Sheffield suasananya sangat tenang. Di hari pertama Inggris main melawan Serbia, sepasang penonton yang menggunakan jersey Newcastle United dilarang masuk oleh petugas. Alasannya karena ini pertandingan di turnamen antar negara, jadi tidak ada jersey klub. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa sama sekali tidak terlihat orang-orang mengenakan jersey Sheffield United atau Sheffield Wednesday, dua klub terbesar di Sheffield.
Meskipun tenang, bukan berarti tidak ada “keramaian” di Devonshire Green. Saya beberapa kali menyaksikan orang berantem karena alasan-alasan sepele. Alkohol memiliki pengaruh yang besar mengapa berantem-berantem tersebut segera meningkat eskalasinya. Misalnya saja ketika Inggris melawan Slovenia. Kick off bahkan belum dimulai. Ada beberapa orang bermain bola. Satu momen, bola tersebut mengenai orang yang duduk dan gelas birnya tumpah. Dia marah-marah dan ngajak berantem orang yang ambil bola.
Di momen lain, orang-orang melempar gelas birnya yang tentu saja mengenai banyak orang. Tidak sampai basah kuyup tapi cukup untuk bikin salah satu orang marah-marah dan gantian melempar dengan sengaja gelas bir lalu berdiri dan memukul si pelempar awal. Kena pipi. Teman-temannya lalu berkerumun memisah. Yang memukul segera lari keluar taman. Tim keamanan datang. Mereka dibubarkan dan disuruh pergi. Saya menyaksikan adegan tersebut sambil senyum. Ngapain mereka ke sini kalo akhirnya tidak jadi nonton Inggris main?
Di final (iya, di final) ada yang berantem juga. Istirahat babak pertama, orang-orang sudah kecewa dengan penampilan pas-pasan Inggris. Beberapa fans yang berdiri sudah kelihatan mabuk dan melempar gelas bir ke bagian penonton yang duduk di depan. Salah seorang penonton yang duduk marah dan hampir merespon dengan fisik jika tidak ditarik teman-temannya. Respon yang kemudian mendapat tertawaan orang-orang yang semakin banyak melempar gelas bir mereka. Ketegangan yang berhenti ketika Inggris menyamakan skor 1-1, meski tidak lama kemudian ketinggalan lagi sampai peluit akhir.
Pukul 22.00, 15 menit setelah final usai, sebagian besar penonton sudah meninggalkan Devonshire Green. Yang tersisa mungkin tidak sampai 10 orang yang menunggu penyerahan piala dan staf kebersihan. Gelas plastik bir berserakan di mana-mana. Inggris harus menunggu lebih lama lagi untuk bisa memenangkan Euro atau Piala Dunia. []


Leave a comment