September ini genap satu tahun saya di Sheffield. Selama setahun ini dengan serangkaian hal-hal yang saya alami di dalamnya, hampir tidak mungkin untuk tidak membandingkan dengan pengalaman tinggal di Leeds beberapa tahun lalu.
Yang paling utama, saya banyak belajar hal-hal pertama ketika di Leeds. Cara naik bus, naik kereta, belanja di pasar, bayar dengan contactless di Tesco, Sainsbury, Morrisons, dan sebagainya. Belum lagi interaksi-interaksi kecil dengan homeless dan orang-orang yang berusaha menipu dan rasis dalam tindakan-tindakan kecil. Di periode tersebut, saya juga mengunjungi lebih dari 30 kota di Inggris termasuk tentu ke Sheffield. Beberapa di antaranya saya ceritakan di buku La La La Leeds.
Pengalaman-pengalaman itu sangat mereduksi anxiety yang pernah saya rasakan di awal-awal saya di Inggris tahun 2017. Begitu sampai Sheffield, karena sudah bisa membayangkan apa saja yang harus saya lakukan, ia membantu saya langsung fokus pada sekolah. Sialnya, rasa penasaran saya dengan negara ini jadi turun. Ini bikin setahun saya di Sheffield terasa cepat sekali tanpa merasa melakukan apa-apa.
Karena itu, usai confirmation review atau semacam sidang proposal di akhir tahun pertama buat mahasiswa S3 di Inggris, saya memutuskan untuk memulai lagi petualangan yang pernah saya lakukan ketika di Leeds. Saya memulai lagi proyek personal yang selalu saya lakukan untuk memahami tempat saya tinggal: belajar sejarah.
***
September akhir bukan waktu yang ideal sebenarnya untuk berjalan kaki. Musim panas sudah berganti musim gugur. Cuaca menjadi lebih dingin. Hujan semakin tidak mudah diprediksi kapan datang. Langit Inggris juga kembali ke bentuk dan warna klasiknya: abu-abu. Yang menyebalkan, mesti mulai memakai baju berlapis-lapis. Karena sesuai kata orang Inggris yang diulang-ulang: tidak ada cuaca buruk, yang ada hanya kita salah memakai baju.
Mempertimbangkan hal tersebut, saya memulai mempelajari sejarah Sheffield dengan berjalan kaki – dengan kombinasi naik tram – untuk menyusuri sungai-sungai di Sheffield.
Ada lima sungai yang membentuk lanskap Sheffield hari ini: satu sungai utama Don, dan empat anak sungai Sheaf, Porter Brook, Loxley, dan Rivelin. Beberapa sungai ini beririsan di tengah kota, yang bikin upaya menyusurinya tidak butuh waktu lama (tentu beda jika ingin menyusuri sampai ke hulu).
Tujuan pertama saya adalah ke tempat pertemuan (saya bingung menemukan istilah geografis bagi perjumpaan dua sungai) antara sungai Don dan sungai Sheaf yang ada di daerah Castlegate, sekitar 12 menit berjalan kaki dari stasiun kereta Sheffield.
Kesan saya setiap melintasi Castlegate, daerah ini agak kumuh dengan bau yang cukup menyengat. Anda dengan mudah akan melihat orang tidur di pinggir jalan di siang hari, atau orang-orang mabuk yang berantem. Di sana-sini juga banyak sampah dibuang sembarangan.
Sebagaimana namanya, di sini dulu berdiri kastil Sheffield. Kastil ini pernah jadi salah satu rumah tahanan buat Mary, Ratu Skotlandia, di abad 15. Saat ini, pemerintah kota sedang merenovasi lokasi yang dulu merupakan Castle Market dan akan mengubahnya menjadi taman publik yang direncanakan akan selesai pada 2026.
Persis di jembatan tempat pertemuan sungai Don dan Sheaf, di atasnya dibangun kafe The 2 Rivers Cafe & Bar. Mungkin sengaja dibiarkan, di atas pintu masuk kafe masih terdapat tulisan “gentlemen” menandakan bahwa bangunan ini dulu bekas toilet umum laki-laki. Ketika kemarin menyusuri sungai dan melihat kafe tersebut, bangunannya kosong dengan beberapa sudut diisi sarang laba-laba.
Saya sempat kepikiran untuk sesekali ke kafe ini kalau sudah buka. Tapi ternyata usai membaca beberapa berita lokal, ternyata sejak dibangun tahun 2019 kafe ini tidak pernah buka. Persis alih rupa dari toilet umum menjadi kafe resmi selesai, pandemi datang. Berbagai bisnis usaha kecil di Sheffield terpukul, termasuk kafe ini. Dan sejak saat itu ia menjadi “kafe hantu”. Di dekat kafe ini, berjajar hotel-hotel dan juga gedung apartemen. Salah satu penghuni apartemen terlihat mengibarkan bendera Palestina di jendelanya.
Sungai Don berhulu di pegunungan Pennine – sering disebut “tulang punggung” Inggris karena posisi dan panjangnya – dan mengalir melewati deretan kota-kota di karesidenan Yorkshire Selatan seperti Penistone, Sheffield, Rotherham, Doncaster, dan Stainforth.
Sementara itu, dari sungai Sheaf nama Sheffield berasal. Dari berita yang ditulis media lokal The Star, Sheffield berasal dari bahasa Inggris kuno Shet-feld yang berarti wilayah pemukiman hutan Sheaf yang terletak di pertemuan sungai Sheaf dan Don. Wajar kalau daerah Castlegate di mana dua sungai bertemu ini disebut tempat lahir Sheffield.
Sungai Sheaf termasuk salah satu sungai yang dipenuhi polusi dari berbagai aktivitas industrial yang menghidupi kota. Saat ini memang sudah tidak kelihatan. Tapi jejaknya masih tersisa, apalagi kalau berjalanan kaki menyusuri tepi sungai, yang sekaligus menunjukkan aktivitas Sheffield sebagai salah satu kota industri di Inggris utara. Gambaran tentang aktivitas industrial ini bisa ditonton lebih lengkap di dokumenter Netflix Strike the Uncivil War yang menceritakan bagaimana Margaret Tatcher (Perdana Menteri UK 1979 – 1990) menghancurkan serikat buruh dan memecah-belah solidaritas kelas pekerja.
Dari “tempat lahir” Sheffield saya menuju ke arah stasiun kereta. Di depan pintu keluar masuk stasiun, ada pelataran yang dinamakan Sheaf Square. Keluar dari stasiun kereta, air terjun buatan akan menyambut dan mengantarkan kita naik menuju jalan Sheaf. Persis di atas ada lampu merah. Jika ingin menuju kampus Sheffield Hallam dan City Centre, kita bisa menyeberang di lampu merah ini.
Sementara itu jika ingin ke stadion Sheffield United, Brammal Lane, kita bisa ke arah kiri menyusuri Sheaf Street. Sekitar 100 meter dari lampu merah tadi ada halte bis di mana kita bisa melihat pertemuan sungai Sheaf dengan sungai Porter Brook yang mengalir melintasi bawah parkiran stasiun kereta.
Setelah mengambil beberapa foto pertemuan dua sungai tersebut, saya kembali ke stasiun kereta menuju ke halte tram. Tujuan selanjutnya adalah mencari titik pertemuan Sungai Rivelin dan Loxley yang terletak di kawasan Hillborough. Agak menjauh dari pusat kota. Di halte tram yang cukup ramai saya menunggu sekitar 10 menit sebelum tram tujuan Malin Bridge datang.
Ketika tram datang, seorang ibu dengan anaknya yang duduk di kursi roda setengah berteriak bertanya apakah ini jurusan melewati University of Sheffield. Orang-orang tidak ada yang menjawab. Saya baru mendengar ketika dia mengulang pertanyaannya dan menjawab iya. Sepertinya ia akan membawa anaknya ke rumah sakit anak yang letaknya tidak terlalu jauh dari halte tram di kampus.
Butuh waktu sekitar 20 – 25 menit dari stasiun menuju Malin Bridge, halte paling ujung yang jadi tujuan saya. Jika ingin “membelah” tengah kota Sheffield, menuju kawasan Hillsborough dengan menggunakan tram bisa menjadi salah satu opsi. Tram akan melewati tengah kota, universitas, dan sedikit naik turun ala bukit, sebelum menyusuri tipikal kawasan industrial di Sheffield.
Di dalam tram saya googling, memastikan lokasi sungai Rivelin dan sungai Loxley. Karena baru pukul 2 siang, saya berencana menyusuri pinggiran kali salah satu dari dua sungai tersebut. Rencana utama saya menyusuri Rivelin Valley Trail yang menghubungkan Sheffield dengan salah satu sudut Peak District.
Sampai di Malin Bridge saya mengubah rencana. Saya coba menyusuri pinggiran sungai Loxley yang ternyata lebih dekat dari halte. Langit agak mendung. Menyusuri pinggir kali dengan pepohonan yang rimbun dan satu-dua bangunan tua rumah warga bikin saya sekilas teringat film-film dokumenter maupun fiksi tentang aksi-aksi kriminal dan pembunuh berantai di kawasan Yorkshire.
Cuaca juga semakin dingin. Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, rencana menyusuri pinggiran sungai saya urungkan. Ini bukan waktu dan lokasi yang tepat untuk berjalan sendirian. Kondisi mungkin akan berbeda jika saya ke sana di musim panas dan langit yang terik.

Saya memutuskan kembali ke jalan raya dan mencari lokasi pertemuan sungai Rivelin dan Loxley. Lokasi ini terletak di dekat jembatan dengan “pulau” kecil yang dinamai Watersmeet Island. Warga lokal membuat komunitas Facebook dan berbagi banyak informasi tentang area tersebut, dari tanaman dan hewan-hewan yang mereka temukan hingga sampah. Kawasan ini menjadi episentrum banjir bandang 1864 yang menewaskan 200an orang dan merusak 600an rumah warga.
Dari Hillsborough, saya kembali ke tengah kota dengan menggunakan tram. Tujuan terakhir adalah ke sungai Porter Brook yang membelah taman Endcliff. Taman ini agak jauh dari halte tram, jadi saya berhenti di halte kampus dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Lumayan, sekitar 30 menit.
Menyusuri Porter Brook di taman Endcliff tentu jauh lebih aman dibanding di sungai Rivelin atau Loxley. Selain lebih dekat dengan tengah kota, taman Endcliff juga merupakan salah satu ruang publik yang ramah dan banyak orang di sana. Saya sampai di sana sekitar pukul 15.00. Jam pulang sekolah. Saya sudah pernah ke taman ini sebelumnya, jadi saya mengulangi rute yang sama untuk menyusuri sungai: start dan finish dari pintu masuk di bundaran Hunter’s Bar.
Jalan setapak di dalam taman tidak dibikin mengikuti arus sungai. Kadang ia menjauh, kadang persis di pinggir sungai. Saya bertemu dengan banyak orang. Ada yang duduk dengan membawa kursi lipat di pinggir kali dan hanya duduk diam (pemandangan yang saya rasakan sangat penuh previleged!), ada orang tua yang membawa anaknya sedang bermain di pinggir danau, juga beberapa orang yang jogging. Di tengah taman, ada tugu memorial Mi Amigo untuk memperingati tentara Amerika Serikat yang meninggal karena kecelakaan pesawat di taman Endcliff pada tahun 1944.

Di salah satu bagian sungai di ujung taman, saya melihat burung bangau. Saya memperhatikannya lebih dari lima menit. Tidak bergerak. Dia baru bergerak ketika ada anjing yang menuju ke arahnya, yang segera diteriaki oleh pemiliknya. Ketika melihatnya, saya teringat ayahnya Po di Kungfu Panda (tapi sepertinya ayahnya Po angsa).
Sekitar pukul 16.30, saya memutuskan menyudahi perjalanan. Belum memuaskan karena saya hanya menuju beberapa titik lima sungai, bukan benar-benar menyusurinya. Lain kali (dan di musim panas!) saya akan menyusurinya dengan lebih takzim. Saya memulai perjalanan dengan cuaca yang relatif hangat dan matahari yang terik. Lalu pulang dengan langit gelap. Gerimis. Tipikal cuaca Inggris. []

Leave a comment