22 Mei 2024. London hujan. Rishi Sunak bikin pengumuman mengejutkan: ia membubarkan parlemen dan menyampaikan pemilu akan diadakan pada 4 Juli 2024. Keesokan harinya, foto-foto Rishi Sunak dengan jas yang basah kehujanan di depan pintu hitam Number 10 memenuhi halaman koran-koran di Inggris. Dari perspektif public relations, ini jelas blunder besar untuk memulai kampanye pemilu.
Pengumuman ini mengejutkan karena deadline untuk melakukan pemilu sebenarnya masih Januari 2025. Hasil-hasil survei juga menunjukkan popularitas dan elektabilitas Partai Konservatif (Tory) jauh tertinggal dari Partai Buruh (Labour). Banyak jurnalis dan pandit politik dan jurnalis yang mengira Rishi akan menunggu sampai akhir dan berharap hasil survei membaik.
Periode pemilu di Inggris ini tipikal sistem parlementer. Defaultnya, secara hukum harus ada pemilu setiap 5 tahun sekali. Namun, di sela-sela 5 tahun itu, pemerintah berhak untuk mengadakan pemilu lagi dengan berbagai alasan. Ini yang disebut sebagai snap election. Dan tidak ada tanggal yang tetap setelah Fix-term Parliament Act (undang-undang yang menentukan tanggal-tanggal pemilu sudah ditetapkan jauh-jauh hari) direvisi tahun 2022 lalu, hanya ada deadline maksimal kapan pemilu harus diselenggarakan.
Ini pemilu Inggris keempat yang saya ikuti secara intensif setelah 2015, 2017, dan 2019 (sekarang tentu saja yang paling dekat karena saya sedang berada di Inggris). Pertama kali saya menyimak politik Inggris di tahun 2013 – 2014 usai membaca biografi Ed Milliband, ketua Partai Buruh. Di pemilu 2015, ia kalah dari David Cameron yang kemudian harus mengundurkan diri satu tahun kemudian karena ia kalah dalam referendum Brexit.
Di tahun 2017, pengganti Cameron, Theresa May, mengumumkan akan mengadakan pemilu dengan harapan memperluas posisi mayoritas di parlemen. Keputusan yang memang membuat ia terpilih sebagai perdana menteri lagi, tapi semakin membuatnya dalam posisi sulit karena pemilu tersebut hasilnya adalah hung parliament dan Tory menjadi minority government. Satu tahun kemudian ia mengundurkan diri dan digantikan Boris Johnson. Di pemilu 2019, Boris berhasil memenangkan pemilu dengan landslide dan membuat Labour di bawah Jeremy Corbyn mengalami kekalahan paling telak dalam sejarah partai.
Salah satu yang menarik buat saya dari pemilu di Inggris adalah karakternya yang bersifat lokal. Sistem parlementer membuat orang-orang tidak memilih calon perdana menteri secara langsung. Beda misalnya dengan sistem presidensial. Orang-orang memilih kandidat anggota parlemen (baik dari partai politik maupun independen) di masing-masing wilayah konstituensinya. Ketua partai politik yang kandidatnya berhasil mendapatkan kursi terbanyak (ini yang disebutkan mendapatkan posisi mayoritas di parlemen) akan menjadi perdana menteri. Kalau tidak ada partai yang mendapatkan posisi mayoritas, maka partai-partai akan berunding membentuk koalisi. Misalnya saja pemilu 2010 Tory berkoalisi dengan Liberal Democrats, dan di pemilu 2017 Tory berkoalisi dengan DUP.
Karena karakter lokalitas tersebut, kandidat “dipaksa” mengenal calon pemilihnya. Di sini salah satu metode kampanye yang populer adalah canvassing, ketika kandidat dan timnya mengetuk pintu rumah warga dan mencoba meyakinkan mereka dengan diskusi. Tidak semua kandidat akan mendapatkan respon yang ramah tentu saja. Dan salah merespon sedikit, hal itu bisa menjadi blunder yang bakal digoreng di media dan lawan-lawan politik mereka.
Masih banyak juga metode kampanye terbuka di ruang-ruang publik. Kadang ini berbahaya buat kandidat atau politisi secara umum. Iklim politik di Inggris 10 tahun ini, terutama sejak referendum Brexit, sangat brutal. Tidak jarang warga melempar benda-benda ke politisi. Ed Miliband dilempar telur, Jeremy Corbyn dipukul, dan di pemilu kali ini ketua partai Reform UK, Nigel Farage, yang retorikanya rasis dan antiimigran dilempar batu dan bir. Yang paling ekstrem tentu saja pembunuhan. Pada 2015, anggota parlemen dari Labour, Jo Cox, ditusuk hingga meninggal di ruang publik. Begitu juga dengan anggota parlemen dari Tory, David Ames, di tahun 2022.
Hal lain, jangan berharap ada poster-poster dan baliho ala kepak sayap kebhinekaan di Indonesia. Selama 3 minggu periode kampanye kemarin, saya tidak melihat sama sekali ada baliho. Yang ada hanya leaflet-leaflet yang dibagikan ketika canvassing, dan beberapa pendukung partai akan memasang papan kecil di depan rumah yang menunjukkan siapa yang mereka dukung.

Dari 5 pemilu yang saya ikuti secara intensif, ini pemilu yang paling tidak menarik. Tidak banyak antusiasme dari anak-anak muda. Salah seorang kolega saya di kampus cerita bahwa dia dulu ikut sayap muda partai Buruh. Ia sangat kritis terhadap Rishi Sunak, tetapi tidak punya antusiasme ke Keir Starmer dan saat ini lebih cenderung mendukung Liberal Democrats.
Banyak kritik dari komentator politik bahwa dua calon perdana menteri yang akan datang, Rishi Sunak dan Keir Starmer, bukanlah sosok yang inspiratif. Rishi Sunak berhasil menjadi perdana menteri karena partainya justru lebih sibuk berkonflik dengan internal partai yang membuat mereka memiliki 5 perdana menteri dalam 10 tahun. Sementara itu, Keir Starmer dan Partai Buruh unggul di hasil-hasil survey persis karena diuntungkan konflik internal di partai Konservatif.
Tidak banyak perbedaan tawaran program dalam manifesto kedua partai. Beda misalnya jika dibandingkan dengan pemilu 2019 di mana dua ketua partai utama, Boris Johnson dan Jeremy Corbyn, mewakili kutub politik yang sama sekali berbeda di kanan dan kiri. Oh iya, manifesto juga merupakan hal lain yang menarik di setiap pemilu. Manifesto ini semacam visi-misi partai yang akan mereka lakukan ketika memenangkan pemilu. Ia biasanya diluncurkan 2-3 minggu sebelum hari pemilihan. Normalnya, manifesto ini merupakan dokumen yang disusun secara bottom-up. Setiap tahun, masing-masing partai melakukan konferensi tahunan. Di konferensi tersebut, selalu ada beberapa hal yang jadi tawaran program utama.
Dalam pemilu ini kali ini misalnya, Tory memiliki program untuk National Service atau semacam wajib militer bagi anak-anak yang minimal berusia 18 tahun. Sementara Labour menawarkan bahwa usia minimal orang yang bisa memilih dalam pemilu akan diturunkan menjadi 16 tahun. Selain itu, kebijakan keduanya tentang imigrasi tidak jauh berbeda.
Sebagai mahasiswa internasional, kebijakan tentang imigrasi ini yang paling berdampak signifikan karena berpengaruh terhadap kehidupan mahasiswa dan keluarga. Kebijakan terbaru dari pemerintahan Rishi Sunak, misalnya, memutuskan bahwa mahasiswa master tidak bisa membawa keluarganya sebagai dependant kecuali dari beasiswa yang dibiayai pemerintah Inggris. Hal ini dilakukan untuk menekan angka imigrasi di Inggris.
Diskusi tentang kebijakan dan tawaran kebijakan ini bisa dilihat dari seri debat televisi yang biasanya terdiri dari dua jenis. Debat kandidat dari dua ketua partai terbesar, yang berarti sekarang Rishi Sunak dan Keir Starmer. Selain itu debat semua ketua partai yang ikut kontestasi seperti Liberal Democrats, Greens, Reform UK, SNP, Plaid Cymru, dan tentu saja Tory serta Labour. Dalam debat semua ketua partai ini Tory dan Labour diwakili wakil ketua partai.
4 Juli, ketika artikel ini ditulis, tiga minggu lagi. Hasil pemilu biasanya sudah bisa diketahui dari hasil exit poll di jam 10 malam (yang di pemilu dulu selalu saya simak di waktu subuh wkwk). Keesokan harinya, jika hasil pemilu menunjukkan ada partai yang mendapatkan mayoritas, ketua partai yang menang akan melakukan pidato sebagai perdana menteri terpilih. Sementara ketua partai yang kalah, hampir pasti akan mengundurkan diri. Tiga minggu lagi, jika hasil survei tidak berubah dramatis, Rishi Sunak akan mengundurkan diri dan Inggris akan memiliki perdana menteri baru, Keir Starmer. []

Leave a comment