Stasiun kereta

Salah satu cerita di The Road to Wigan Pier yang paling saya ingat adalah ketika George Orwell di stasiun kereta Wigan. Ia baru merampungkan perjalanannya memotret kemiskinan di kota-kota di Inggris bagian utara. Ia menarasikan momen kereta melaju pelan-pelan dengan detail dan penuh kegetiran.

Itu akhir musim dingin 1936. Dari atas kereta, terlihat deretan rumah kumuh berwarna abu-abu dikelilingi gundukan salju yang menghitam. Jalanan penuh dengan lumpur. Pada satu momen, ia melihat seorang perempuan yang sedang memegang kayu di atas pipa limbah di dekat rumah. Perempuan tersebut melihat ke arah kereta dan Orwell bisa melihatnya dengan jelas; pucat, celemek dan sandal yang longgar, lengan yang kemerahan tanda kedinginan, serta wajah dengan “the most desolate, hopeless expression.”

Stasiun kereta–sebagaimana bandara, terminal, dan pelabuhan–adalah tempat yang penuh paradoks. Apalagi di Inggris, di mana kereta menjadi tulang punggung transportasi antar kota. Ada yang sedih karena perpisahan, ada yang bahagia karena perjumpaan. Banyak yang datang dan pergi melalui stasiun kereta dengan biasa saja. Tidak sedikit juga yang anxious atau justru antusias karena baru pertama kali datang di satu kota. Atau juga seperti yang diceritakan Orwell, penuh kegetiran.

Beberapa hari yang lalu, di stasiun kereta Sheffield, saya melihat momen-momen yang penuh emosi. Dua orang berpelukan dan menangis karena akan berpisah; Seorang ayah yang mengajari anak perempuannya cara membaca pengumuman jadwal kereta dan kapan kereta mereka berangkat; Empat orang yang wajahnya sumringah karena akhirnya tiba di Sheffield dan berdiri persis di pintu keluar-masuk. Seorang laki-laki yang menumpahkan kopinya yang masih utuh, baru saja dibeli, demi menghindari burung merpati yang datang mendekat.

Lain waktu, ada yang memotret bebek yang berenang di kolam depan stasiun. Beberapa orang homeless meminta-minta, “do you have a change?”. Di Twitter, saya melihat seseorang mengunggah foto laki-laki, di stasiun Picadilly Circus Manchester, yang menunggu pasangannya datang dan membawa bunga mawar yang ia sembunyikan dengan tangan di belakang. Ketika akhirnya bertemu, keduanya berpelukan.

Setiap di stasiun kereta saya kerap membayangkan bagaimana jika berada dalam posisi orang-orang tersebut. Apa yang mereka pikirkan, apakah kehidupan bersikap baik atau sedang memberikan tantangan yang berat. Selain itu, tentu saya sibuk dengan pikiran sendiri apa yang harus saya lakukan di perjalanan jika sedang berangkat ke satu tempat. Atau karena kelelahan setelah bepergian dan akhirnya segera sampai di rumah atau flat.

Selama hampir tiga bulan di Inggris chapter 2, stasiun kereta sudah memberikan banyak pengalaman berharga. Selain perjumpaan-perjumpaan dengan orang-orang di atas, juga pengalaman yang mendewasakan diri saya sendiri. Oh iya, saya akan menyebut kehidupan saya di Inggris kali ini sebagai chapter 2, chapter 1 di Inggris tentu ketika saya sekolah di Leeds. Itu yang jadi alasan kenapa sebelum ke Sheffield saya memutuskan mampir ke Leeds terlebih dulu. Sekadar mengucapkan terima kasih kepada kota yang membentuk salah satu periode formatif saya.

Leeds hujan deras ketika saya menuju ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan ke Sheffield. Sepatu, kaos kaki, dan celana basah. Dan sepanjang perjalanan dari Leeds ke Sheffield, saya berdiri karena kereta penuh. Sampai di stasiun Sheffield, praktis badan saya sudah kedinginan. Mungkin hanya hati – iya, klise – yang hangat karena akhirnya tiba di kota yang akan saya tinggali beberapa tahun ke depan.

Sejauh ini, yang paling ((dramatis)) tentu di stasiun Birmingham New Street. Itu momen ketika saya sedang dalam perjalanan pulang ke Sheffield setelah mengunjungi teman. Saya sengaja transit di Birmingham sebelum ke Sheffield untuk mendapatkan tiket kereta yang murah. Saya belum bikin railcard dan dana dari beasiswa belum turun. Sialnya, saya transit sehari setelah badai Babet yang membuat kawasan sekitar Sheffield banjir dan lumpuh total tidak bisa dilewati kereta.

Itu momen yang filmis. Sampai di stasiun, saya memastikan kereta saya ada di jadwal di papan pengumuman. Aman. Masih ada satu setengah jam lagi sebelum kereta berangkat. Stasiun ini menyatu dengan pusat perbelanjaan Grand Central. Saya memutuskan ke toko buku Foyles yang terletak di dalamnya. Kurang lebih satu jam di Foyles, saya menuju ke platform kereta. Setelah melewati pintu pemeriksaan tiket – hanya scan barcode e-ticket- saya cek di papan pengumuman lagi, jadwal kereta saya tidak ada. Hilang. Mulai panik, saya cek di website, ternyata benar kereta dibatalkan. Saya segera mencari tiket kereta untuk jam setelahnya. Sial. Semua kereta ke arah utara untuk hari tersebut dan esok hari, dibatalkan karena kondisi.

Saya melihat banyak orang yang kelihatan panik. Itu Jum’at sore, hari di mana orang-orang mulai mempersiapkan akhir pekannya termasuk pergi ke luar kota. Hanya kereta yang ke arah selatan masih beroperasi. Bus-bus, yang banyak menjadi alternatif perjalanan selain kereta, juga banyak yang dibatalkan. Akhirnya saya ke London dan menginap di rumah teman, opsi yang paling rasional ketimbang menyewa hotel di Birmingham. Sampai di stasiun London Euston, penuh orang-orang kecewa karena tidak bisa melanjutkan perjalanan ke arah utara.

Yang paling menyenangkan–sejauh ini–masih di King’s Cross London, stasiun dengan arsitektur yang estetis. Menyenangkan karena setelah terjebak badai 2 hari, saya akhirnya akan bisa pulang ke Sheffield dari stasiun ini. Saat sampai di stasiun, saya masih harap-harap cemas dan selalu melihat ke papan pengumuman dan website. Untuk meredakan ketegangan, saya mampir ke platform 9 ¾ yang terletak di dalam stasiun dan melihat wajah-wajah sumringah. Mungkin karena mereka fans berat Harry Potter.

Selama beberapa tahun ke depan, tentu saya akan mengunjungi lebih banyak stasiun di Inggris. Untuk perjalanan ke kota-kota tertentu atau sekadar transit. Perjalanan yang saya harap lebih sering dipenuhi kebahagiaan, bukan kegetiran. []


Comments

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com