Siapa yang saya sebut media barat ketika saya menyebut media barat

Ketika menggunakan istilah generik seperti “media barat”, pertanyaan yang sering diajukan biasanya berkaitan dengan definisi.

Apakah media barat merujuk pada media tertentu saja, misalnya BBC, New York Times, Spiegel, Guardian, Fox, CNN? Kalau hanya merujuk pada satu media, kenapa tidak langsung menyebut nama medianya saja alih-alih melakukan generalisasi? Dan rentetan pertanyaan lanjutan yang sepertinya tidak akan pernah berujung karena memang tidak pernah ada definisi tunggal tentang istilah “media barat”.

Pertanyaan serupa juga muncul ketika beberapa waktu lalu saya menulis tentang bias pemberitaan media barat tentang apa yang terjadi di Gaza saat ini dan bagaimana mereka memotret Palestina dan Israel selama puluhan tahun. Di media sosial saya melihat jurnalis di Inggris – yang sering berargumen satu sama lain di Twitter – mengelak jika disebut medianya bias dan penggunaan istilah “media barat” menyerang mereka secara personal.

Jadi apa sebenarnya yang dimaksud media barat?

Karena tidak ada definisi yang universal, saya tentu tidak bisa mewakili menjawab orang-orang yang menggunakan istilah media barat dalam opini yang mereka sampaikan. Lebih mudah, misalnya, untuk menggunakan istilah “sistem media barat” yang sudah banyak ilmuan mendefinisikannya. Salah satu yang populer tentu karya Hallin dan Mancini (2004).  

Di tulisan ini, saya akan memberikan konteks yang saya maksud sebagai media barat khususnya berkaitan dengan pemberitaan isu Palestina-Israel.

Ketika menyebut media barat, saya sedang merujuk pada apa yang oleh banyak ilmuan media dan jurnalisme sebagai media groupthink. Term ini pada mulanya dimunculkan oleh Irving Janis pada 1972 untuk menjelaskan keseragaman tindakan atau sikap sebuah kelompok/grup/komunitas sebagai efek dari berbagai kesamaan yang dimiliki dalam kelompok/grup/komunitas tersebut.

Berbagai kesamaan yang ada “di dalam” membuat anggota kelompok/grup/komunitas kesulitan untuk melihat kondisi berbeda yang ada “di luar”. Menurut Irving, ada delapan tanda groupthink, di antaranya adalah rasionalisasi kolektif di mana setiap anggota kelompok memberikan rasionalisasi atas tindakan tertentu berdasarkan apa yang disebut sebagai “pengetahuan bersama” dalam kelompok tersebut. Karena memiliki berbagai kesamaan, Irving menjelaskan bahwa anggota grup juga cenderung memiliki belief in inherent morality, keyakinan pada moralitas yang melekat dalam kelompok mereka.

Selain itu, Irving menyebut tentang illusion of uninamity, ilusi kebulatan suara yaitu bahwa semua anggota dalam kelompok yang sama memiliki pendapat dan tindakan yang serupa. Karena ada asumsi kebulatan suara, maka yang selanjutnya muncul adalah self-sensorship. Dalam teori komunikasi, ini yang disebut sebagai spiral of silence di mana seseorang tidak ingin menyampaikan pendapat yang berbeda dengan mayoritas orang yang ada di dalam kelompoknya.

Groupthink bisa muncul karena kesamaan yang sifatnya natural, misalnya ras atau etnis. Atau bisa juga karena faktor-faktor yang sifatnya struktural seperti kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk karena kebijakan pemerintah. Misalnya, orang akan cenderung tidak membuang sampah sembarangan jika ada aturan yang memaksa mereka. Jika aturan dilanggar, akan ada hukuman yang menanti. Faktor struktural tersebut berpengaruh pada faktor kultural di mana tindakan membuang sampah sembarangan kemudian pelan-pelan dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Kembali ke konteks tulisan ini, media groupthink terbentuk juga karena faktor-faktor struktural sekaligus kultural. Owen Jones, pernah menulis bahwa profesi jurnalis di UK adalah salah satu profesi paling eksklusif karena untuk masuk ke dalamnya butuh latar belakang setidaknya dari keluarga kelas menengah. Akan sulit menemukan jurnalis di UK yang berasal dari keluarga kelas pekerja. Perbedaan latar belakang tersebut akan sangat menentukan bagaimana media memberitakan kelas pekerja dan isu-isu kemiskinan secara umum.

Dalam isu Palestina – Israel, banyak yang sudah mendokumentasikan bagaimana proses pembentukan media groupthink ini terjadi yang pada tahap selanjutnya memunculkan bias dalam pemberitaan. Artikel yang menggambarkan bagaimana media groupthink kemudian membentuk bias salah satunya bisa dilihat dari artikel berjudul The American Media and The Palestine Problem yang terbit tahun 1975.Artikel tersebut merupakan hasil wawancara dengan jurnalis dan editor di media-media di Amerika Serikat. Salah satu kesimpulannya, bias pemberitaan yang pro-Israel memang diakui sebagai konsekuensi dari jurnalis-jurnalis mereka yang gagap Timur Tengah, sentimen anti-Arab yang sangat tinggi, dan juga lobi Israel yang mempengaruhi petinggi di ruang redaksi media.

Efeknya, bias menjadi tidak terhindarkan. Bias yang dimaksud adalah pemberitaan yang menguntungkan Israel dan diskriminatif terhadap Palestina. Beberapa studi menunjukkan bahwa dalam memberitakan eskalasi konflik yang meningkat, media-media barat jarang memberikan konteks atau latar belakang yang lebih utuh (Deprez dan Raeymaeckers, 2010); korban yang jatuh dari Israel lebih sering dipersonalisasi untuk memunculkan simpati, sementara dari Palestina lebih banyak berupa statistik (Korn, 2004); sampai narasumber yang lebih banyak dari Israel alih-alih Palestina.

Ini yang saya maksud sebagai “media barat”, ia tidak merujuk pada satu-dua media atau satu-dua berita, satu-dua individu jurnalis, tetapi pada sistem dan kultur yang terbentuk pelan-pelan di media-media di negara-negara barat. Dalam konteks tersebut dan dari beberapa studi yang melihat bias pemberitaan media barat, studi kasus atau contoh-contoh yang ada diletakkan sebagai ilustrasi atas media groupthink tersebut.

Sama seperti konflik yang eskalasinya meningkat sejak serangan Hamas 7 Oktober 2023 yang dibalas dengan serangan besar-besaran Israel ke Gaza. Ada banyak contoh bias yang ditunjukkan oleh media-media barat tersebut.

Beberapa yang saya catat dari misalnya:

Beberapa artikel di atas hanya contoh tentu saja. Ia menunjukkan bahwa media groupthink yang bias terhadap Palestina masih subur. Sejauh ini, riset yang cukup komprehensif terkait bias pemberitaan media barat mengenai situasi Gaza dilakukan oleh Lauterbach dan Shabibi (2023). Meneliti berita-berita di Washington Post, New York Times, Guardian, Times, and BBC, mereka menyebut bahwa media-media tersebut lebih memberikan banyak ruang dari sisi Israel, sementara korban dari Palestina hanya dianggap sebagai statistik.

Lantas, jika bias tersebut dilakukan beberapa media, mengapa tidak menyebut nama media secara spesifik dan lebih memilih menggunakan media barat? Sebagaimana jawaban yang disampaikan para sarjana ilmu sosial, tergantung konteks. Kadang cukup menyebut beberapa media. Kadang, kembali ke atas, perlu untuk menyebut media barat karena saya sedang merujuk pada groupthink. Dan juga untuk alasan praktikal.

Apa yang penting digarisbawahi, mengkritik groupthink tidak selalu berarti mengkritik personal atau individu jurnalis yang menulis beritanya, atau asal menyerang media. Shoemaker and Reese (1996) sudah lama menunjukkan ada hierarki yang mempengaruhi proses produksi berita. Dari sistem sosial sampai individu jurnalis. Sebagaimana mengkritik media-media barat yang menjadi cheerleader ketika invasi Amerika Serikat ke Irak dan Afghanistan di dekade 2000-an tidak berarti juga mengabaikan ada liputan-liputan mendalam dan penting dari media yang bersangkutan. Kita bisa mengkritik media dalam satu isu sekaligus memuji di isu yang lain. Bukan dua hal yang berlawanan. []


Comments

Leave a comment

Create a website or blog at WordPress.com